Dari hari ke hari, lelah mendengar, membaca, melihat dan orang-orang disekitar memperdebatkan Capres - Cawapres....... pilih sesuai hati nurani saudara-saudara ku. Jangan saling menghujat, gontok-gontokan, meledek serta merendahkan. berpolitiklah secara dewasa, berpolitiklah secara santun... kita sebangsa, setanah-air.... Hidup INDONESIA ku... Jayalah NEGERI ku....
Renungan.... Tidak bermaksud menyuruh memilih atau mengarahkan siapapun. Sekali lagi, ini hanya renungan, sekaligus introspeksi, betapa tidak dewasanya masyarakat kita.
"Calon Presiden Musuh Islam?"
**-**
“Cilaka, Kyai! Cilaka!” Aku baru saja tiba di Pondok Kyai Husain.
Setelah mencium tangannya, aku tak bisa membendung rasa kesalku yang
telah kutahan cukup lama. Kegelisahanku tiba-tiba membrudal di hadapan
wajah teduh Kyai Husain yang selama ini selalu mendengarkan keluh
kesahku.
“Cilaka apanya, Nak?” Tanya Kyai Husain.
“Pilpres!” Aku tak punya jawaban lain yang lebih panjang lagi. Aku yakin Kyai Husain akan mengerti.
Kyai Husain terkekeh. “Ndak usah dipikir!” Katanya, “Nanti juga reda
sendiri. Ndak usah dipikir!” Kyai Husain kemudian mulai melinting
tembakaunya.
“Tapi ini sudah menyangkut keselamatan ummat,
Kyai. Ini sudah genting! Jika calon yang didukung para pengusaha hitam
dan musuh-musuh Islam yang menang, bisa habis ummat Islam di negeri ini.
Negeri ini akan hancur dan mendapatkan azab dari Gusti Allah!”
Kyai Husain mengangguk-angguk. Wajahnya tampak prihatin. “Kamu sudah shalat?” Tanyanya.
Aku menggelengkan kepala.
“Ambillah air wudhu, lalu shalatlah terlebih dahulu. Waktu ashar hampir habis.” Kata Kyai Husain.
Pelan-pelan keresahanku ciut. Aku malu pada diriku sendiri. Betapa
bebalnya imanku, aku berteriak-teriak mengkhawatirkan nasib ummat tetapi
aku sendiri lupa menjalankan kewajibanku.
Aku pamit pada Kyai Husain untuk ke surau. Kyai Husain mengangguk-angguk perlahan. Beliau sedang asyik dengan tembakaunya.
Selang delapan atau sepuluh menit, aku sudah menghadapkan wajahku lagi pada Kyai Husain.
“Bagaimana shalatmu?” Tanya Kyai Husain tiba-tiba.
Aku terkejut ditanya demikian. Bagaimana shalatku?
“Eh, begitu, Kyai. Begitu saja. Alhamdulillah saya sudah shalat sekarang.” Aku menjawab pertanyaan itu dengan terbata-bata.
“Apa yang kaupikirkan dalam shalatmu?” Kyai Husain bertanya lagi.
Sebenarnya aku agak tersinggung ditanya-tanya begini. Apa urusan Kyai
Husain tentang shalatku? Bukankah itu urusanku dengan Gusti Allah? Untuk
apa Kyai Husain tanya-tanya segala? Tapi, karena aku sangat menghormati
Kyai Husain, mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin mengakatan kepadanya
bahwa aku tersinggung. Aku juga tak mungkin menjawab, Bukan urusan Anda,
Kyai! Bisa-bisa nanti beliau yang tersinggung. Jika begitu, celakalah
aku. Bisa kualat aku. Apalagi Kyai Husain inilah yang dulu mengajari aku
shalat. Dari alif-ba-ta Al-Fatihah sampai rukuk-sujud gerakan shalat
dia ajarkan kepadaku dengan penuh kesabaran.
“Eh… Anu, begini,
Kyai… Soal shalat, biarlah itu menjadi komunikasi batin antara saya dan
Gusti Allah.” Astagfirullah. Mengapa kata-kata itu juga yang keluar dari
mulutku?
Kyai Husain terkekeh. Kemudian agak terbatuk. “Ya
sudah… Soal agama, biarlah itu juga jadi urusan pribadi-pribadi dengan
Tuhannya” Katanya, lalu beliau menghisap tembakaunya. “Tapi, dalam
shalatmu, kamu mikirin copras-capres atau tidak?” Sambung Kyai Husan,
kemudian tertawa lebar.
Aku jadi kikuk. Aku tersenyum-senyum malu.
“Iya, Kyai.” Aku memang tak khusuk dalam shalatku tadi. Kepalaku
dipenuhi kekhawatiran-kekhawatiran dan semacam kebencian. Khawatir
karena elektabilitas capres yang kubenci, yang begitu membahayakan bagi
umat Islam, terus saja tinggi dan sulit tersaingi. Maunya apa sih ummat
Islam Indonesia ini? Aku gelisah luar biasa dalam shalatku.
“Coba kamu ingat-ingat lagi,” kata Kyai Husain, “Capres mana yang paling membuatmu gelisah dalam shalat?”
“Jelas dia yang musuh ummat, Kyai! Jelas dia yang dikendalikan
cukong-cukong asing! Jelas dia yang tidak pro kebijakan syariah! Jelas
sekali dia yang diharamkan para ulama untuk dipilih!” Aku menjawab
pertanyaan Kyai Husain dengan berapi-api.
Kyai Husain terkekeh. “Shalatmu begitu berat,” katanya.
Aku kebingungan.
“Shalatmu penuh beban,” lanjut Kyai Husain. “Aku tak pernah mengajarkan shalat yang penuh beban.”
“Tapi, Kyai…” Aku berusaha memotong Kyai Husan, “Mohon maaf. Ini memang
masalah genting yang sedang kita hadapi sebagai bangsa. Pemilihan
presiden tinggal 20 hari lagi, musuh-musuh Islam hampir saja menang!”
“Siapa yang kau sebut musuh-musuh Islam?”
“Capres boneka! Juga orang fasik di belakangnya!” Jawabku dengan penuh semangat.
“Bukankah dia juga seorang Muslim?” Tanya Kyai Husain.
“Saya meragukan keislamannya, Kyai! Itu pasti pencitraan! Keislaman palsu!”
“Ajari aku tentang keislaman yang asli, keislaman yang sejati?” Dengan
tenang Kyai Husain mengajukan pertanyaan yang sama sekali tak kuduga.
Beliau masih menghisap tembakaunya.
“Eh, Kyai. Mohon maaf,
Kyai. Saya tidak dalam kapasitas untuk menjelaskan itu.” Tiba-tiba aku
merasa malu pada diriku sendiri. Apa hakku memberi batas dan
ukuran-ukuran bagi keislaman seseorang? Mengapa aku melabeli seseorang
atau orang lain bahwa keislaman mereka palsu, pencitraan dan harus
diragukan?
“Kalau begitu bagaimana dengan keislamanmu sendiri?” Tanya Kyai Husain.
Aku makin gelagapan. Bahkan shalat pun aku masih sering terlambat.
Hingga hampir kehabisan waktu. Bahkan jika shalat pun aku masih
memikirkan hal-ihwal ini-itu. Apa hakku mengatur-atur keisalaman orang
lain? Bagaimana dengan keislamanku sendiri?
Aku tertunduk lesu. Tak bisa menjawab apa-apa dan tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya menggelengkan kepala.
Kyai Husain terkekeh.
“Ummat Islam lebih besar dari sekadar pemilu-pemiluan,” jawab Kyai
Husain, “Agama ini lebih besar dari sekadar capres-capresan!” Beliau
tampak lebih serius.
Aku mulai memerhatikan perkataan Kyai Husain.
“Sebenarnya aku tak suka membicarakan ini. Islam dan apapun saja di
dunia ini tidak level untuk dibanding-bandingkan. Islam itu tinggi dan
tidak ada yang lebih tinggi lagi darinya, itu sudah final. Kamu mau
bawa-bawa Islam untuk urusan politik? Kamu tak lebih dari mereka yang
memperjualbelikan agama untuk urusan dunia. Kamu mau membela ummat
Islam? Tanyakan itu sekali lagi pada dirimu sendiri, bukankah kamu
sebenarnya sedang melakukan segmentasi pemilih? Bukankah kamu ingin
menggiring pemilih untuk melihat mana capres Islam dan bukan Islam agar
mereka bisa dikategori-kategorikan, dikelompok-kelompokkan, agar syahwat
kekuasaanmu dan sekelompok orang tertentu bisa tercapai? Kamu ini
sedang membela Islam, atau siapa? Kamu ini sedang membela Gusti Allah
atau membela orang-orang yang hanya mengaku-ngaku dekat dengan Gusti
Allah?”
“Lalu soal mengharam-haramkan. Soal bahwa memilih
capres tertentu diancam berdosa dan bahkan masuk neraka. Apa hakmu untuk
mengatur-atur urusan yang bahkan Rasulullah Muhammad pun tak mungkin
sanggup mencampuri urusan Gusti Allah itu? Apakah kamu sudah merasa
lebih besar dari Rasulullah dan Gusti Allah? Kamu boleh senang atau
tidak senang dengan capres terntentu atau siapapun saja, tetapi kemu
tidak boleh senang melihat ummat Islam terpecah belah, dipecah-belah.
Kamu boleh senang dengan politik dan segala tetek bengeknya, tetapi kamu
tidak boleh senang melihat agamamu dijadikan alat untuk mendulang
suara—kamu tidak boleh mengharam-haramkan sesuatu yang dengannya
sebenarnya kamu sedang berusaha menghalal-halalkan syahwat dan nafsu
politikmu semata!”
Aku hanya bisa menunduk. Kata-kata Kyai Husain benar-benar menampar hatiku.
“Tapi Kyai…” Aku berusaha memberi pembelaan, “Situasinya sekarang sudah
hitam putih. Sudah jelas mana pembela Islam dan mana musuh Islam.
Situasinya sudah genting!”
Kali ini Kyai Husain tampak marah.
“Dengarkan aku!” Katanya, “Musuh Islam sejati adalah orang-orang
munafik! Mereka yang dalam luka baru mengaku saudara! Mereka yang dalam
situasi yang menguntungkan dirinya saja baru mengaku-aku dekat dengan
agama ini. Mereka yang menjadikan agama ini hanya sebagai atribut
belaka! Mereka yang menyebarkan kebencian dan merasa bahwa dirinya
paling beriman.”
“Tapi… tapi…” Aku berusaha memotong Kyai Husain. Tapi beliau tampak benar-benar geram dengan situasi ini.
“Islam tak membutuhkan orang-orang yang menyebarkan kebencian sebagai
jalan untuk meninggikannya. Gusti Allah tak perlu dibela. Jika kamu
pikir besok Islam akan habis jika calon presiden yang kaubenci itu
menang, kamu sudah benar-benar mengerdilkan dan meremehkan agama ini.
Apakah jika dia menang lantas kamu otomatis pindah agama? Kecuali
kualitas imanmu memang seperti kaus kaki yang kendur, kamu patut
mengkhawatirkannya. Khawatirkanlah kualitas keimananmu sendiri!”
Aku mulai berpikir rupanya Kyai Husain memang punya pandangan politik
yang berbeda denganku. Jangan-jangan beliau sudah bergabung dengan
pendukung calon presiden boneka. Jangan-jangan beliau sudah sesat dan
menjadi musuh Islam. Aku tak boleh menemuinya lagi. Ya, aku tak boleh
menemuinya lagi. Haram hukumnya bagiku untuk menemuinya lagi.
“Sebentar lagi, kamu akan menuduhku kafir.” Tiba-tiba Kyai Husain
seperti bisa membaca pikiranku. Lalu tertawa. “Tidak apa-apa jika kau
berpikir begitu. Kelak di surgamu yang kamu bayang-bayangkan, mungkin
kamu tidak akan menemukan orang-orang sepertiku. Surgamu mungkin akan
dipenuhi oleh orang-orang yang suka menunjuk-nunjuk hidung orang lain
sebagai sesat atau kafir atau musuh agama, sebab hanya diri mereka yang
benar. Mungkin perlu juga kamu pikirkan apakah di antara orang-orang
seperti ini terdapat kemungkinan untuk saling menyalah-nyalahkan dan
mengkafir-kafirkan juga? Sebab kebenaran hanya benar menurut dirimu
sendiri, bukan? Di surga semacam itu, mungkin kamu akan hidup
sendirian!”
Kyai Husain terkekeh.
Aku berada pada
situasi yang benar-benar membingungkan Aku mulai ragu pada diriku
sendiri. Apa yang dikatakan Kyai Husain benar-benar menampar hati dan
kesadaranku.
“Maafkan saya, Kyai.” Tiba-tiba aku memohon maaf padanya. Akal sehat dan nuraniku memerintahkannya.
Kyai Husain hanya tertawa, sambil sesekali menghisap lintingan
tembakaunya yang hampir habis. “Kau tak perlu meminta maaf padaku,”
katanya, “Tapi kau harus mulai berpikir, bahwa calon presiden yang kamu
bela atau calon presiden yang kamu benci tak akan menentukan apa-apa
bagi kualitas keimanan dan ketakwaanmu sebagai individu. Itu urusan
pribadimu sendiri dengan Gusti Allah.”
Aku mengangguk-angguk setuju.
“Perbaiki shalatmu,” kata Kyai Husain, “Perbaiki apa saja yang buruk
pada dirimu. Lalu berbuat baiklah pada sesama. Jangan gadaikan agamamu
hanya untuk sesuatu yang sementara seperti pesta demokrasi lima tahunan
ini.”
“Tapi kita harus memilih, Kyai.”
Kyai Husain mengangguk. “Aku setuju. Pilihlah yang paling cocok menurut pertimbangan akal dan hati nuranimu.”
Aku mengangguk-angguk, “Terima kasih, Kyai.”
Magrib hampir tiba. Kyai Husain mangajakku ke surau untuk shalat magrib
berjamaah. Aku menyetujui ajakannya. “Selesai shalat, orang-orang akan
membicarakan hal yang sama,” Kyai Husain sambil tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak apa-apa,” katanya, “Ini sedang
masanya. Kelak kita akan kembali pada urusan masing-masing, pada problem
hidup masing-masing, pada takdir dan nasib kita masing-masing, dan
harus berjuang untuk menyelesaikannya sendiri-sendiri.”
Aku
mengangguk. “Saya akan memilih calon presiden yang paling baik, yang
bisa membantu rakyat untuk menyelesaikan problem-problem keseharian
mereka, Kyai.”
“Nah, kali ini pertimbanganmu benar.” Kata Kyai
Husain. “Alasan itu saja yang kau jadikan pertimbangan untuk menentukan
pilihanmu, tak usah repot-repot bawa agama.”
Aku tersenyum. Ada
semacam kelegaan dalam hatiku mendengar persetujuan Kyai Husain tentang
pendapatku. Aku sengaja memelankan langkahku, ingin melihat Kyai Husain
dari belakang. Aku memerhatikan langkah ritmisnya, rambut putihnya,
sarung hijaunya, juga surban yang tak lepas dari kepalanya.
“Kyai…” Tiba-tiba aku ingin memanggilnya.
Kyai Husain menoleh.
“Siapa yang Kyai pilih?”
“Tak ada yang sempurna,” Jawabnya. “Seperti kita tahu, tak ada manusia
yang sempurna. Bahkan Muhammad tak memiliki suara merdu seperti Daud,
tak memiliki kemampuan fantastis seperti yang dimiliki Sulaiman, bahkan
mungkin saja tak seberani Ibrahim atau setangguh Musa. Aku akan memilih
calon presiden yang paling mengetahui bahwa dirinya tak sempurna dan dia
yang paling bisa menghargai kemanusiaan sesama.”
Aku tak bisa menebak pilihan Kyai Husain.
“Siapa orangnya, Kyai?”
Kyai Husain hanya tersenyum, lalu terus berjalan menuju surau.
Usai shalat magrib, aku menyadari bahwa aku kembali tidak khusuk dalam
shalatku. Sepanjang shalat, aku terus berpikir tentang pilihanku dan
memerhatikan Kyai Husain yang menjadi imam. Ada bacaan shalat Kyai
Husain yang menurutku keliru pelafalan dan tajwidnya.
Mungkin
memang sulit mencari imam yang sempurna, pikirku. Tetapi dalam shalat
berjamaah, semua orang diberi Allah derajat pahala berlipat ganda. Aku
mulai sadar, kebaikan yang paripurna tak bisa dicapai sendirian.
Aku terus memerhatikan Kyai Husain yang kali ini tampak sedang
berdzikir. Kepalanya mengangguk-angguk ritmis. Aku belum tahu jawaban
Kyai Husain tentang calon presiden pilihannya... Tapi aku mulai ragu
pada pilihanku sendiri.
----
Melbourne, 21 Juni 2014
*Penulis: Fahd Pahdepie atau dikenal juga dengan nama pena Fahd Djibran
adalah mahasiswa Postgraduate di School of Politics and International
Relations, Monash University, Australia. Saat ini tinggal di Melbourne.