Selasa, Juni 24, 2014

RENUNGAN.... LELAH MELIHAT PER-POLITIK-AN DI INDONESIA

Dari hari ke hari, lelah mendengar, membaca, melihat dan orang-orang disekitar memperdebatkan Capres - Cawapres....... pilih sesuai hati nurani saudara-saudara ku. Jangan saling menghujat, gontok-gontokan, meledek serta merendahkan. berpolitiklah secara dewasa, berpolitiklah secara santun... kita sebangsa, setanah-air.... Hidup INDONESIA ku... Jayalah NEGERI ku....

Renungan.... Tidak bermaksud menyuruh memilih atau mengarahkan siapapun. Sekali lagi, ini hanya renungan, sekaligus introspeksi, betapa tidak dewasanya masyarakat kita.


"Calon Presiden Musuh Islam?"
**-**
“Cilaka, Kyai! Cilaka!” Aku baru saja tiba di Pondok Kyai Husain. Setelah mencium tangannya, aku tak bisa membendung rasa kesalku yang telah kutahan cukup lama. Kegelisahanku tiba-tiba membrudal di hadapan wajah teduh Kyai Husain yang selama ini selalu mendengarkan keluh kesahku.

“Cilaka apanya, Nak?” Tanya Kyai Husain.

“Pilpres!” Aku tak punya jawaban lain yang lebih panjang lagi. Aku yakin Kyai Husain akan mengerti.

Kyai Husain terkekeh. “Ndak usah dipikir!” Katanya, “Nanti juga reda sendiri. Ndak usah dipikir!” Kyai Husain kemudian mulai melinting tembakaunya.

“Tapi ini sudah menyangkut keselamatan ummat, Kyai. Ini sudah genting! Jika calon yang didukung para pengusaha hitam dan musuh-musuh Islam yang menang, bisa habis ummat Islam di negeri ini. Negeri ini akan hancur dan mendapatkan azab dari Gusti Allah!”

Kyai Husain mengangguk-angguk. Wajahnya tampak prihatin. “Kamu sudah shalat?” Tanyanya.

Aku menggelengkan kepala.

“Ambillah air wudhu, lalu shalatlah terlebih dahulu. Waktu ashar hampir habis.” Kata Kyai Husain.

Pelan-pelan keresahanku ciut. Aku malu pada diriku sendiri. Betapa bebalnya imanku, aku berteriak-teriak mengkhawatirkan nasib ummat tetapi aku sendiri lupa menjalankan kewajibanku.

Aku pamit pada Kyai Husain untuk ke surau. Kyai Husain mengangguk-angguk perlahan. Beliau sedang asyik dengan tembakaunya.

Selang delapan atau sepuluh menit, aku sudah menghadapkan wajahku lagi pada Kyai Husain.

“Bagaimana shalatmu?” Tanya Kyai Husain tiba-tiba.

Aku terkejut ditanya demikian. Bagaimana shalatku?

“Eh, begitu, Kyai. Begitu saja. Alhamdulillah saya sudah shalat sekarang.” Aku menjawab pertanyaan itu dengan terbata-bata.

“Apa yang kaupikirkan dalam shalatmu?” Kyai Husain bertanya lagi.

Sebenarnya aku agak tersinggung ditanya-tanya begini. Apa urusan Kyai Husain tentang shalatku? Bukankah itu urusanku dengan Gusti Allah? Untuk apa Kyai Husain tanya-tanya segala? Tapi, karena aku sangat menghormati Kyai Husain, mau bagaimana lagi? Aku tak mungkin mengakatan kepadanya bahwa aku tersinggung. Aku juga tak mungkin menjawab, Bukan urusan Anda, Kyai! Bisa-bisa nanti beliau yang tersinggung. Jika begitu, celakalah aku. Bisa kualat aku. Apalagi Kyai Husain inilah yang dulu mengajari aku shalat. Dari alif-ba-ta Al-Fatihah sampai rukuk-sujud gerakan shalat dia ajarkan kepadaku dengan penuh kesabaran.

“Eh… Anu, begini, Kyai… Soal shalat, biarlah itu menjadi komunikasi batin antara saya dan Gusti Allah.” Astagfirullah. Mengapa kata-kata itu juga yang keluar dari mulutku?

Kyai Husain terkekeh. Kemudian agak terbatuk. “Ya sudah… Soal agama, biarlah itu juga jadi urusan pribadi-pribadi dengan Tuhannya” Katanya, lalu beliau menghisap tembakaunya. “Tapi, dalam shalatmu, kamu mikirin copras-capres atau tidak?” Sambung Kyai Husan, kemudian tertawa lebar.

Aku jadi kikuk. Aku tersenyum-senyum malu.

“Iya, Kyai.” Aku memang tak khusuk dalam shalatku tadi. Kepalaku dipenuhi kekhawatiran-kekhawatiran dan semacam kebencian. Khawatir karena elektabilitas capres yang kubenci, yang begitu membahayakan bagi umat Islam, terus saja tinggi dan sulit tersaingi. Maunya apa sih ummat Islam Indonesia ini? Aku gelisah luar biasa dalam shalatku.

“Coba kamu ingat-ingat lagi,” kata Kyai Husain, “Capres mana yang paling membuatmu gelisah dalam shalat?”

“Jelas dia yang musuh ummat, Kyai! Jelas dia yang dikendalikan cukong-cukong asing! Jelas dia yang tidak pro kebijakan syariah! Jelas sekali dia yang diharamkan para ulama untuk dipilih!” Aku menjawab pertanyaan Kyai Husain dengan berapi-api.

Kyai Husain terkekeh. “Shalatmu begitu berat,” katanya.

Aku kebingungan.

“Shalatmu penuh beban,” lanjut Kyai Husain. “Aku tak pernah mengajarkan shalat yang penuh beban.”

“Tapi, Kyai…” Aku berusaha memotong Kyai Husan, “Mohon maaf. Ini memang masalah genting yang sedang kita hadapi sebagai bangsa. Pemilihan presiden tinggal 20 hari lagi, musuh-musuh Islam hampir saja menang!”

“Siapa yang kau sebut musuh-musuh Islam?”

“Capres boneka! Juga orang fasik di belakangnya!” Jawabku dengan penuh semangat.

“Bukankah dia juga seorang Muslim?” Tanya Kyai Husain.

“Saya meragukan keislamannya, Kyai! Itu pasti pencitraan! Keislaman palsu!”

“Ajari aku tentang keislaman yang asli, keislaman yang sejati?” Dengan tenang Kyai Husain mengajukan pertanyaan yang sama sekali tak kuduga. Beliau masih menghisap tembakaunya.

“Eh, Kyai. Mohon maaf, Kyai. Saya tidak dalam kapasitas untuk menjelaskan itu.” Tiba-tiba aku merasa malu pada diriku sendiri. Apa hakku memberi batas dan ukuran-ukuran bagi keislaman seseorang? Mengapa aku melabeli seseorang atau orang lain bahwa keislaman mereka palsu, pencitraan dan harus diragukan?

“Kalau begitu bagaimana dengan keislamanmu sendiri?” Tanya Kyai Husain.

Aku makin gelagapan. Bahkan shalat pun aku masih sering terlambat. Hingga hampir kehabisan waktu. Bahkan jika shalat pun aku masih memikirkan hal-ihwal ini-itu. Apa hakku mengatur-atur keisalaman orang lain? Bagaimana dengan keislamanku sendiri?

Aku tertunduk lesu. Tak bisa menjawab apa-apa dan tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya menggelengkan kepala.

Kyai Husain terkekeh.

“Ummat Islam lebih besar dari sekadar pemilu-pemiluan,” jawab Kyai Husain, “Agama ini lebih besar dari sekadar capres-capresan!” Beliau tampak lebih serius.

Aku mulai memerhatikan perkataan Kyai Husain.

“Sebenarnya aku tak suka membicarakan ini. Islam dan apapun saja di dunia ini tidak level untuk dibanding-bandingkan. Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi lagi darinya, itu sudah final. Kamu mau bawa-bawa Islam untuk urusan politik? Kamu tak lebih dari mereka yang memperjualbelikan agama untuk urusan dunia. Kamu mau membela ummat Islam? Tanyakan itu sekali lagi pada dirimu sendiri, bukankah kamu sebenarnya sedang melakukan segmentasi pemilih? Bukankah kamu ingin menggiring pemilih untuk melihat mana capres Islam dan bukan Islam agar mereka bisa dikategori-kategorikan, dikelompok-kelompokkan, agar syahwat kekuasaanmu dan sekelompok orang tertentu bisa tercapai? Kamu ini sedang membela Islam, atau siapa? Kamu ini sedang membela Gusti Allah atau membela orang-orang yang hanya mengaku-ngaku dekat dengan Gusti Allah?”

“Lalu soal mengharam-haramkan. Soal bahwa memilih capres tertentu diancam berdosa dan bahkan masuk neraka. Apa hakmu untuk mengatur-atur urusan yang bahkan Rasulullah Muhammad pun tak mungkin sanggup mencampuri urusan Gusti Allah itu? Apakah kamu sudah merasa lebih besar dari Rasulullah dan Gusti Allah? Kamu boleh senang atau tidak senang dengan capres terntentu atau siapapun saja, tetapi kemu tidak boleh senang melihat ummat Islam terpecah belah, dipecah-belah. Kamu boleh senang dengan politik dan segala tetek bengeknya, tetapi kamu tidak boleh senang melihat agamamu dijadikan alat untuk mendulang suara—kamu tidak boleh mengharam-haramkan sesuatu yang dengannya sebenarnya kamu sedang berusaha menghalal-halalkan syahwat dan nafsu politikmu semata!”

Aku hanya bisa menunduk. Kata-kata Kyai Husain benar-benar menampar hatiku.

“Tapi Kyai…” Aku berusaha memberi pembelaan, “Situasinya sekarang sudah hitam putih. Sudah jelas mana pembela Islam dan mana musuh Islam. Situasinya sudah genting!”

Kali ini Kyai Husain tampak marah. “Dengarkan aku!” Katanya, “Musuh Islam sejati adalah orang-orang munafik! Mereka yang dalam luka baru mengaku saudara! Mereka yang dalam situasi yang menguntungkan dirinya saja baru mengaku-aku dekat dengan agama ini. Mereka yang menjadikan agama ini hanya sebagai atribut belaka! Mereka yang menyebarkan kebencian dan merasa bahwa dirinya paling beriman.”

“Tapi… tapi…” Aku berusaha memotong Kyai Husain. Tapi beliau tampak benar-benar geram dengan situasi ini.

“Islam tak membutuhkan orang-orang yang menyebarkan kebencian sebagai jalan untuk meninggikannya. Gusti Allah tak perlu dibela. Jika kamu pikir besok Islam akan habis jika calon presiden yang kaubenci itu menang, kamu sudah benar-benar mengerdilkan dan meremehkan agama ini. Apakah jika dia menang lantas kamu otomatis pindah agama? Kecuali kualitas imanmu memang seperti kaus kaki yang kendur, kamu patut mengkhawatirkannya. Khawatirkanlah kualitas keimananmu sendiri!”

Aku mulai berpikir rupanya Kyai Husain memang punya pandangan politik yang berbeda denganku. Jangan-jangan beliau sudah bergabung dengan pendukung calon presiden boneka. Jangan-jangan beliau sudah sesat dan menjadi musuh Islam. Aku tak boleh menemuinya lagi. Ya, aku tak boleh menemuinya lagi. Haram hukumnya bagiku untuk menemuinya lagi.

“Sebentar lagi, kamu akan menuduhku kafir.” Tiba-tiba Kyai Husain seperti bisa membaca pikiranku. Lalu tertawa. “Tidak apa-apa jika kau berpikir begitu. Kelak di surgamu yang kamu bayang-bayangkan, mungkin kamu tidak akan menemukan orang-orang sepertiku. Surgamu mungkin akan dipenuhi oleh orang-orang yang suka menunjuk-nunjuk hidung orang lain sebagai sesat atau kafir atau musuh agama, sebab hanya diri mereka yang benar. Mungkin perlu juga kamu pikirkan apakah di antara orang-orang seperti ini terdapat kemungkinan untuk saling menyalah-nyalahkan dan mengkafir-kafirkan juga? Sebab kebenaran hanya benar menurut dirimu sendiri, bukan? Di surga semacam itu, mungkin kamu akan hidup sendirian!”

Kyai Husain terkekeh.

Aku berada pada situasi yang benar-benar membingungkan Aku mulai ragu pada diriku sendiri. Apa yang dikatakan Kyai Husain benar-benar menampar hati dan kesadaranku.

“Maafkan saya, Kyai.” Tiba-tiba aku memohon maaf padanya. Akal sehat dan nuraniku memerintahkannya.

Kyai Husain hanya tertawa, sambil sesekali menghisap lintingan tembakaunya yang hampir habis. “Kau tak perlu meminta maaf padaku,” katanya, “Tapi kau harus mulai berpikir, bahwa calon presiden yang kamu bela atau calon presiden yang kamu benci tak akan menentukan apa-apa bagi kualitas keimanan dan ketakwaanmu sebagai individu. Itu urusan pribadimu sendiri dengan Gusti Allah.”

Aku mengangguk-angguk setuju.

“Perbaiki shalatmu,” kata Kyai Husain, “Perbaiki apa saja yang buruk pada dirimu. Lalu berbuat baiklah pada sesama. Jangan gadaikan agamamu hanya untuk sesuatu yang sementara seperti pesta demokrasi lima tahunan ini.”

“Tapi kita harus memilih, Kyai.”

Kyai Husain mengangguk. “Aku setuju. Pilihlah yang paling cocok menurut pertimbangan akal dan hati nuranimu.”

Aku mengangguk-angguk, “Terima kasih, Kyai.”

Magrib hampir tiba. Kyai Husain mangajakku ke surau untuk shalat magrib berjamaah. Aku menyetujui ajakannya. “Selesai shalat, orang-orang akan membicarakan hal yang sama,” Kyai Husain sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak apa-apa,” katanya, “Ini sedang masanya. Kelak kita akan kembali pada urusan masing-masing, pada problem hidup masing-masing, pada takdir dan nasib kita masing-masing, dan harus berjuang untuk menyelesaikannya sendiri-sendiri.”

Aku mengangguk. “Saya akan memilih calon presiden yang paling baik, yang bisa membantu rakyat untuk menyelesaikan problem-problem keseharian mereka, Kyai.”

“Nah, kali ini pertimbanganmu benar.” Kata Kyai Husain. “Alasan itu saja yang kau jadikan pertimbangan untuk menentukan pilihanmu, tak usah repot-repot bawa agama.”

Aku tersenyum. Ada semacam kelegaan dalam hatiku mendengar persetujuan Kyai Husain tentang pendapatku. Aku sengaja memelankan langkahku, ingin melihat Kyai Husain dari belakang. Aku memerhatikan langkah ritmisnya, rambut putihnya, sarung hijaunya, juga surban yang tak lepas dari kepalanya.

“Kyai…” Tiba-tiba aku ingin memanggilnya.

Kyai Husain menoleh.

“Siapa yang Kyai pilih?”

“Tak ada yang sempurna,” Jawabnya. “Seperti kita tahu, tak ada manusia yang sempurna. Bahkan Muhammad tak memiliki suara merdu seperti Daud, tak memiliki kemampuan fantastis seperti yang dimiliki Sulaiman, bahkan mungkin saja tak seberani Ibrahim atau setangguh Musa. Aku akan memilih calon presiden yang paling mengetahui bahwa dirinya tak sempurna dan dia yang paling bisa menghargai kemanusiaan sesama.”

Aku tak bisa menebak pilihan Kyai Husain.

“Siapa orangnya, Kyai?”

Kyai Husain hanya tersenyum, lalu terus berjalan menuju surau.

Usai shalat magrib, aku menyadari bahwa aku kembali tidak khusuk dalam shalatku. Sepanjang shalat, aku terus berpikir tentang pilihanku dan memerhatikan Kyai Husain yang menjadi imam. Ada bacaan shalat Kyai Husain yang menurutku keliru pelafalan dan tajwidnya.

Mungkin memang sulit mencari imam yang sempurna, pikirku. Tetapi dalam shalat berjamaah, semua orang diberi Allah derajat pahala berlipat ganda. Aku mulai sadar, kebaikan yang paripurna tak bisa dicapai sendirian.

Aku terus memerhatikan Kyai Husain yang kali ini tampak sedang berdzikir. Kepalanya mengangguk-angguk ritmis. Aku belum tahu jawaban Kyai Husain tentang calon presiden pilihannya... Tapi aku mulai ragu pada pilihanku sendiri.
----
Melbourne, 21 Juni 2014

*Penulis: Fahd Pahdepie atau dikenal juga dengan nama pena Fahd Djibran adalah mahasiswa Postgraduate di School of Politics and International Relations, Monash University, Australia. Saat ini tinggal di Melbourne.